Rabu, 14 November 2012

" HUKUM PERANG/ HUMANITER INTERNASIONAL "

HUKUM PERANG/ HUMANITER INTERNASIONAL

by. WPapuani
 
Hukum perang atau yang sering disebut dengan hukum Humaniter internasional, atau hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia, atau sama tuanya dengan perang itu sendiri. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa adalah suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Naluri untuk mempertahankan diri kemudian membawa keinsyarafan bahwa cara berperang yang tidak mengenal batas itu sangat merugikan umat manusia, sehingga kemudian mulailah orang mengadakan pembatasan-pembatasan, menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur perang antara bangsa bangsa.


Dalam sejarahnya hukum humaniter internasional dapat ditemukan dalam aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia. Perkembangan modern dari hukum humaniter baru dimulai pada abad ke-19. Sejak itu, negara-negara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis, yang berdasarkan pengalaman-pengalaman pahit atas peperangan modern. Hukum humaniter itu mewakili suatu keseimbangan antara kebutuhan kemanusiaan dan kebutuhan militer dari negara-negara. Seiring dengan berkembangnya komunitas internasional, sejumlah negara di Seluruh dunia telah memberikan sumbangan atas perkembangan hukum humaniter internasional. Dewasa ini, hukum humaniter internasional diakui sebagai suatu sistem hukum yang benar-benar universal.

Pada umumnya aturan tentang perang itu termuat dalam aturan tingkah laku, moral dan agama. Hukum untuk perlindungan bagi kelompok orang tertentu selama sengketa bersenjata dapat ditelusuri kembali melalui sejarah di hampir semua negara atau peradaban di dunia. Dalam peradaban bangsa Romawi dikenal konsep perang yang adil (just war). Kelompok orang tertentu itu meliputi penduduk sipil, anakanak, perempuan, kombatan yang meletakkan senjata dan tawanan perang.



A. Pengertian Hukum Humaniter

Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya disebut International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict, pada awalnya dikenal sebagai hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of arms conflict), dan pada akhirnya dikenal dengan istilah hukum humaniter. Istilah Hukum humaniter sendiri dalam kepustakaan hukum internasional merupakan istilah yang relatif baru. Istilah ini lahir sekitar tahun 1970-an dengan diadakannya Conference of Government Expert on the Reaffirmation and Development in Armed Conflict pada tahun 1971. Sebagai bidang baru dalam hukum internasional, maka terdapat rumusan atau definisi mengenai hukum humaniter :
  1. Jean Pictet : “International humanitarian law in the wide sense is constitutional legal provision, whether written and customary, ensuring respect for individual and his well being.
  2. Geza Herzeg : “ Part of the rule of public international law which serve as the protection of individuals in time of armed conflict. Its place is beside the norm of warfare it is closely related to them but must be clearly distinguish from these its purpose and spirit being different.
  3. Mochtar Kusumaatmadja: “Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang iu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.”
  4. Esbjorn Rosenbland : “The law of armed conflict berhubungan dengan permulaan dan berakhirnya pertikaian; pendudukan wilayah lawan; hubungan pihak yang bertikai dengan negara netral. Sedangkan Law of Warfare ini antara lain mencakup : metoda dan sarana berperang, status kombatan, perlindungan yang sakit, tawanan perang dan orang sipil.”
  5. S.R Sianturi : “Hukum yang mengatur mengenai suatu sengketa bersenjata yang timbul antara dua atau lebih pihak-pihak yang bersengketa, walaupun keadaan sengketa tersebut tidak diakui oleh salah satu pihak.“
  6. Panitia tetap hukum humaniter, departemen hukum dan perundangundangan merumuskan sebagai berikut : “Hukum humaniter sebagai keseluruhan asas, kaedah dan ketentuan internasional, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang.”
Dengan demikian, Hukum Humaniter Internasional adalah seperangkat aturan yang, karena alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian senjata. Hukum ini melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam pertikaian, dan membatasi cara-cara dan metode berperang. Hukum Humaniter Internasional adalah istilah lain dari hukum perang (laws of war) dan hukum konflik bersenjata (laws of armed conflict).

Hukum Humaniter Internasional adalah bagian dari hukum internasional. Hukum internasional adalah hukum yang mengatur hubungan antar negara. Hukum internasional dapat ditemui dalam perjanjian-perjanjian yang disepakati antara negara-negara — yang sering disebut traktat atau konvensi — dan secara prinsip dan praktis negara menerimanya sebagai kewajiban hukum. Dengan demikian, maka hukum humaniter tidak saja meliputi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam  perjanjian internasional, tetapi juga meliputi kebiasaan-kebiasaan internasional yang terjadi dan diakui.
B. Perang, Konflik Bersenjata dan Damai

Penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan akomodasi, integrasi secara konsensus tanpa kekerasan. Banyak dilakukan dengan tekanan dan kekerasan, tidak terbatas selalu dengan kekerasan senjata, tetapi dengan bentuk-bentuk kekerasan yang meliputi bidang kehidupan, apakah politik, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya.

Perang adalah pelaksanaan atau bentuk konflik dengan intensitas kekerasan yang tinggi. Von Clausewitz, seorang militer dan filsuf Jerman mengatakan antara lain bahwa perang adalah kelanjutan politik dengan cara-cara lain. Dengan prinsip tersebut ia melihat bahwa hakekat kehidupan bangsa adalah suatu perjuangan sepanjang masa dan dalam hal ini ia identikkan politik dengan perjuangan tersebut.
Sementara Indonesia menganut pendirian bahwa Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaannya. Pada hakekatnya perang adalah mematahkan semangat musuh untuk melawan.

Dahulu rakyat tidak mengetahui adanya perang, karena peperangan dilakukan oleh dua negara dengan masing-masing menggunakan prajuritnya bahkan prajurit sewaan. Saat ini, bersamaan dengan tumbuhnya demokrasi dalam pemerintahan dan dukungan teknologi yang cepat, maka berubahlah perang dan konflik antar negara menjadi sangat luas dan kompleks. Dalam alam demokrasi, perang dan konflik telah melibatkan secara politis seluruh rakyat negara yang bersangkutan. Dengan alat-alat komunikasi mutakhir setiap manusia dimanapun berada akan dapat dijangkau oleh radio, bahkan televisi, sarana komunikasi dan informasi lainnya sebagai alat konflik yang akan mempengaruhi pikirannya.

Negara yang memulai perang, melakukannya dengan melancarkan serangan berkekuatan militer terhadap Negara yang hendak ditundukkannya. Serangan dengan kekuatan militer dapat berupa satu ofensif luas yang dinamakan invasi, juga dapat berupa serangan dengan sasaran terbatas. Hal ini, mencerminkan adanya konflik bersenjata dimana pihak-pihak yang berperang menggunakan kemampuan senjata yang dimiliki. Konflik bersenjata umumnya terjadi antar Negara, namun konflik bersenjata bukan perang dapat terjadi di dalam suatu Negara sebagai usaha yang dilakukan daerah untuk memisahkan diri atau gerakan separatisme dengan menggunakan kekerasan senjata, dan usaha terorisme baik yang bersifat nasional maupun internasional.

Masalah-masalah tersebut, ada yang berkembang sepenuhnya sebagai usaha domestik karena dinamika dalam satu Negara, tetapi juga ada yang terjadi karena peran atau pengaruh Negara lain. Meskipun masalah-masalah itu tidak termasuk perang, dampaknya bagi Negara yang mengalami bisa sama atau dapat melebihi.

Dewasa ini (pada masa damai), sering terjadi konflik di dalam suatu Negara yang dipandang akan berdampak langsung maupun tidak langsung bagi stabilitas suatu Negara. Kesalahan tindakan preventif terhadap konflik yang terjadi, akan berakibat fatal bagi keutuhan sebuah Negara. Pengalaman penanganan konflik etnik yang melanda Uni Soviet dan Negara-negara bagian, misalnya, menyadarkan banyak Negara akan arti pentingnya tindakan preventif untuk pencegahan konflik, agar tidak berdampak negatif bagi keamanan nasional mereka. Pengalaman Uni Soviet, yang gagal untuk mengantisipasi konflik menyebabkan Negara tersebut runtuh menjadi serpihan-serpihan Negara kecil, ternyata telah menyadarkan banyak Negara akan dampak langsung konflik bagi aspek pertahanan. Begitu pula sulitnya penanganan konflik yang dipicu oleh masalah identitas agama yang menyebabkan konflik, yang belum kunjung selesai di India antara Hindu dan Muslim sehingga Muslim membentuk identitas tersendiri sejak akhir abad 19 mendorong setiap Negara untuk mengantisipasi sifat dan jenis-jenis konflik yang mungkin berdampak bagi faktor keamanan dan pertahanan.

C.    Jenis-jenis Konflik Bersenjata

Secara garis besar, hanya ada dua bentuk konflik bersenjata saja yang diatur dalam Hukum Humaniter sebagaimana yang dapat dilihat dan mengkaji konvensi-konvensi jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 yaitu :  
  1. “sengketa atau konflik bersenjata yang bersifat internasional”(international armed conflict); serta 
  2. “sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional” (non-international armed conflict).

Pembagian dua bentuk konflik ini adalah juga menurut Haryomataram. Selain Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan, para pakar Hukum Humaniter telah mengajukan bentuk konflik bersenjata, antara lain :
  • Starke, membagi konflik bersenjata menjadi dua, yaitu war proper between States, and armed conflict which are not of the character of war. Mengenai “armed conflict” yang menjadi pihak belum tentu negar, dapat juga bukan negara menjadi pihak dalam konflik tersebut. Ditambahkan pula bahwa “war proper” adalah “declared war”, yaitu perang yang didahului dengan suatu “declaration of war”.

  • Shigeki Miyazaki, pakar ini menjabarkan konflik bersenjata sebagai berikut :
  1. Konflik bersenjata antara pihak peserta konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977. Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 1 dan Protokol I, Pasal 1, Paragraf 3.
  2. Konflik bersenjata antara pihak peserta (negara) dengan bukan pihak peserta (negara atau penguasa de facto), misalnya penguasa yang memimpin kampanye pembebasan nasional yang telah menerima Konvensi Jenewa dan/atau Protokol. Konvensi Jenewa Pasal 2, Paragraf 4, Protokol Tambahan I, Pasal 1, Paragraf 4, Pasal 96, Paragraf 2.
  3. Konflik bersenjata antar pihak peserta (negara) dan bukan pihak peserta (negara atau penguasa de facto), yang belum menerima baik Konvensi Jenewa maupun Protokol. Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 4, Marthen Clause, Protokol II (penguasa : authority).
  4. Konflik bersenjata antara dua bukan pihak peserta (non-contracting parties). Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 4, Kovensi Jenewa Pasal 3 (penguasa), Marthen Clause, Protokol 2 (penguasa).
  5. Konflik bersenjata yang serius yang tidak bersifat internasional (pemberontakan). Konvensi Jenewa, Pasal 3, Protokol 2, Hukum Internasional Publik.
  6. Konflik bersenjata yang lain. Kovenan Internasional HAM, Hukum Publik (Hukum Pidana).
  • Haryomataram, membagi konflik bersenjata sebagai berikut :
1) Konflik Bersenjata yang bersifat Internasional


Ada beberapa macam konflik bersenjata internasional : murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional (War Of National Liberation)  dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir (Internationalized Internal Armed Conflict).
Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.
Mengenai Internationalized Internal Armed Conflict dapat dikatakan bahwa yang dimaksud adalah suatu non-international armed conflict kemudian karena ada pengakuan atau bantuan dari negara ke tiga berkembang menjadi non-international armed conflict yang di internasionalisir.
Mengenai apa yang dimaksdkan dengan istilah “armed conflict not of an international character” yang terdapat dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dan “non-international armed conflict pada Protokol Tambahan II 1977, tidak dapat ditemukan penjelasan dalam konvensi atau protokol tersebut. Penjelasan selanjutnya dapat dilihat pada pembahasan tentang Protokol Tambahan 1977.
Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.

2) Konflik Bersenjata yang bersifat Non-Internasional

Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.
Di samping mengetahui maksud atau pengertian konflik bersenjata non-internasional menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II tahun 1977, maka tidak ada salahnya mengetahui bagaimana pengertian konflik non-internasional menurut para ahli. Berikut dicantumkan bagaimana pendapat ahli dalam usaha mereka untuk merumuskan apa yang disebut dengan sengketa bersenjata non-internasional.

1. Dieter Fleck


Konflik bersenjata non-internasional adalah suatu konfrontasi antara penguasa pemerintah yang berlaku dan suatu kelompok yang dipimpin oleh orang yang bertanggung jawab atas anak buahnya, yang melakukan perlawananan bersenjata di dalam wilayah nasional serta telah mencapai intensitas suatu kekerasan bersenjata atau perang saudara.

2. Pietro Verri

Suatu konflik non-internasional dicirikan dengan pertempuran antara angkatan bersenjata suatu negara dengan perlawanan dari sekelompok orang atau pasukan pemberontak… Bagaimanapun juga suatu konflik di suatu wilayah negara antara dua kelompok etnis dapat pula diklasifikasikan sebagai konflik bersenjata non-internasional asalkan konflik tersebut memenuhi syarat-syarat yang diperlukan seperti intensitas konflik, lama atau durasi konflik dan partisipasi rakyat pada konflik tersebut. Selanjutnya, dikatakan pula oleh Verri, bahwa konflik bersenjata non-internasional ini adalah sinonim dari perang saudara.

3. Hans-Peter Gasser

Konflik non-international adalah konfrontasi bersenjata yang terjadi di dalam wilayah suatu negara, yaitu antara pemerintah di satu sisi dan kelompok perlawanan bersenjata di sisi lain. Anggota kelompok perlawanan bersenjata tersebut apakah digambarkan sebagai pemberontak, kaum revolusioner, kelompok yang ingin memisahkan diri, pejuang kebebasan, teroris, atau istilah-istilah sejenis lainnya berperang untuk menggulingkan pemerintah, atau untuk memperoleh otonomi yang lebih besar di dalam negara tersebut, atau dalam rangka memisahkan diri dan mendirikan negara mereka sendiri. Penyebab dari konflik seperti ini bermacam-macam; seringkali penyebabnya adalah pengabaian hak-hak minoritas atau hak asasi manusia lainnya yang dilakukan oleh pemerintah yang diktator sehingga menyebabkan timbulnya perpecahan di dalam negara tersebut.

Sebelum lahirnya Konvensi Jenewa 1949, tidak ada ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai perang saudara atau pemberontakan. Baru setelah lahirnya Konvensi-Konvensi Jenewa tahun 1949, maka mengenai sengketa bersenjata yang bersifat ini diatur. Namun demikian, apabila pihak pemberontak memperoleh status sebagai pihak yang berperang (belligerent), maka hubungan antara pemerintah de jure dan pihak pemberontak akan diatur oleh hukum internasional khususnya yang mengenai perang dan netralitas. Konsekuensi dari hal ini adalah akan mengakibatkan berakhirnya status sifat intern (internal character) dari konflik bersenjata tersebut. Hal ini disebabkan karena pengakuan atas status belligerent tersebut oleh pemerintah de jure atau pihak ketiga akan memperkuat kedudukan pihak belligerent, sehingga apabila hal ini dilihat dari sudut pandang pemerintah de jure, maka secara politis tentunya akan merugikan pemerintah de jure. Oleh karena itu, pemerintah de jure akan selalu berusaha untuk menyangkal adanya status resmi apapun dari pihak pemberontak.

Pasal 3 keempat Konvensi Jenewa 1949 menyatakan “Dalam hal sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung di dalam wilayah salah satu Pihak Agung penandatangan, tiap Pihak dalam sengketa itu akan diwajibkan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

Orang-orang yang tidak mengambil bagian aktif dalam sengketa itu, termasuk anggota-anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata-senjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penawanan atau sebab lain apapun dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan perikemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu. Untuk maksud ini, maka tindakantindakan berikut dilarang dan akan tetap dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang tersebut di atas pada waktu dan di tempat apapun juga :
  1. Tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, penyekapan, perlakuan kejam dan penganiayaan;
  2. Penyanderaan;
  3. Perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat;
  4. Menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa beradab.
Pasal 3 mengharuskan pihak-pihak penandatangan untuk memperlakukan korban sengketa bersenjata internal menurut prinsip-prinsip yang diatur dalam Pasal 3 ayat 1. Selain itu, Pasal 3 Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 memberikan jaminan perlakuan menurut asas-asas perikemanusiaan, terlepas dari status apakah sebagai pemberontak atau sifat dari sengketa bersenjata itu sendiri. Dalam Pasal 3 keempat Konvensi tahun 1949 ini terdapat semua pokok utama perlakuan korban perang menurut Konvensi-konvensi 1949, sehingga pasal ini dinamakan juga Konvensi Kecil (Convention in Miniature). Selanjutnya Pasal 3 ayat 2 Konvensikonvensi Jenewa 1949 menyatakan bahwa yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat.

Sebuah badan humaniter tidak berpihak, seperti Komite Palang Merah Internasional dapat menawarkan jasa-jasanya kepada pihak-pihak dalam sengketa. Pihak-pihak dalam sengketa selanjutnya harus berusaha untuk melaksanakan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, semua atau sebagian dari ketentuan lainnya dari konvensi ini. Pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam sengketa.

Ketentuan yang menyatakan bahwa Pihak-pihak dalam sengketa selanjutnya harus berusaha untuk melaksanakan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, menunjukkan bahwa dalam peristiwa terjadinya sengketa dalam negara tidak dengan sendirinya seluruh konvensi berlaku, melainkan hanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3 ayat 1. Selanjutnya, kalimat diadakannya perjanjian-perjanjian demikian antara pemerintah de jure dan kaum pemberontak tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam pertikaian, yang berarti bahwa maksud dari Pasal 3 adalah sematamata didorong cita-cita perikemanusiaan dan tidak dimaksudkan untuk mencampuri urusan dalam negeri suatu negara.

D.   Jenis Konflik yang tidak diatur dalam Hukum Humaniter

Selain ke dua jenis konflik tersebut di atas, maka terdapat jenis konflik lainnya yang tidak diatur dalam Hukum Humaniter. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) Protokol II 1977 yang berbunyi : “Protokol ini tidak berlaku pada situasi-situasi kekerasan dan ketegangan dalam negeri, seperti huru-hara, tindakan-tindakan kekerasan yang bersifat sporadis dan terisolir,  serta tindakan-tindakan yang bersifat serupa lainnya, yang bukan merupakan sengketa bersenjata”. Pada ilustrasi di atas, tidak terdapat tanda-tanda upaya pemisahan diri dari negara induk, karena jenis konflik yang terjadi masih dalam koridor ketegangan dan kekerasan dalam negeri dengan intensitas konflik yang relatif masih rendah.

1 komentar:

  1. bisa ga aku tau untuk sumber sumber info nya dari buku mana aja ini? untuk bahan skripsi aku hehe terimakasih

    BalasHapus

Apa Membantu Anda?

 

About

Blogroll